20
Jul

SOLO, SERVIAMNEWS.com – Dalam mendidik dan mendampingi siswa generasi Z penting bagi guru untuk memahami dan mengembangkan Kompetensi Sosial Emosional (KSE). Sejatinya, KSE mencakup kemampuan untuk mengenali, memahami, mengelola, dan mengekspresikan emosi diri, serta memahami emosi orang lain. Keterampilan ini sangat penting karena membantu guru dalam membangun hubungan yang lebih baik dengan siswa.

Dengan memiliki KSE yang kuat, guru dapat lebih efektif dalam menjalankan peran sebagai fasilitator dalam Kurikulum Merdeka, dimana pembelajaran terpusat pada peserta didik (student center). Perubahan paradigma ini menuntut guru untuk terus mengembangkan kompetensi, terutama dalam hal KSE. Dengan KSE, guru dapat lebih efektif dalam membimbing siswa tidak hanya dalam aspek akademik tapi juga dalam pengembangan keterampilan sosial dan emosional.

Berkaitan dengan pengembangan kompetensi tersebut, sebanyak 85 guru SMP dan SMA Regina Pacis Surakarta mengikuti seminar bertajuk “Implementasi Kompetensi Sosial-Emosional dalam Pembelajaran dan Pendampingan Siswa” pada Senin, 15 Juli 2024 di Auditorium Kampus Regina Pacis Surakarta. Hadir sebagai narasumber yaitu Dosen Fakultas Psikologi sekaligus Rektor Soegijapranata Catholic University (SCU) Semarang, Bapak Dr. Ferdinandus Hindiarto, S..Psi., M.Si dan Ibu Dr. Elizabeth Wahyu Margareth Indira, S.Psi., M.Pd., Psikolog.

Pada sesi pertama, materi yang disampaikan adalah pengenalan kompetensi sosial emosional oleh Bapak Ferdinand. Beliau mengajak para peserta untuk menyadari realitas mengenai “Generation Gap“yaitu kesenjangan yang menciptakan jarak antara guru dan siswa. Beliau menekankan pentingnya komunikasi yang melingkar dan efektif untuk menjembatani kesenjangan ini. Salah satu cara untuk mencapainya adalah dengan memenuhi kebutuhan generasi Z yang sering digambarkan sebagai kekurangan “Vitamin A” – yaitu Attention (perhatian), Acceptance (penerimaan), Affection (kasih sayang), Appreciation (penghargaan), dan Affirmation (pengakuan).

Memenuhi “Vitamin A” sangat penting karena membantu siswa merasa dihargai dan diakui, sehingga dapat meningkatkan keterlibatan siswa dalam proses belajar. Perhatian dan penerimaan dari guru membuat siswa merasa didengar dan dimengerti, kasih sayang menciptakan ikatan emosional yang kuat, dan penghargaan serta pengakuan mendorong motivasi dan rasa percaya diri siswa. Dengan memenuhi kebutuhan ini, guru dapat membangun hubungan yang lebih baik dengan siswa, mengurangi kesenjangan generasi, dan menciptakan lingkungan belajar yang lebih positif dan inklusif.

Pada sesi ini, Bapak Ferdinand juga menyinggung mengenai pokok-pokok pemikiran pendidikan dari Driyarkara. Mendidik adalah perbuatan fundamental yang bertujuan untuk mengubah, menemukan, dan membentuk hidup manusia yang berpangkal pada sikap fundamental cinta murni yaitu mengutamakan kepentingan yang dicintai. Driyarkara juga menekankan mengenai homanisasi yaitu manusia dapat “menyadari dirinya sendiri” yang berarti mengerti diri, mampu menempatkan diri, mengambil sikap, dan mampu menentukan dirinya sendiri.

Sesi pertama diakhiri dengan peneguhan pemutaran film yang menceritakan begitu hebatnya perjuangan seorang guru yang mengajar di kelas anak-anak bermasalah, hingga mampu mendidik dan mengubah anak-anak tersebut menjadi lebih disiplin dan mampu menemukan potensi diri. Di sesi kedua, dilanjutkan dengan materi strategi pengembangan kompetensi sosial emosional dalam pembelajaran dan pendampingan siswa oleh Ibu Ira.

Pada sesi kedua ini, peserta disegarkan melalui cerita pengalaman Ibu Ira dalam mendampingi siswa termasuk yang berkebutuhan khusus. Melalui pengalaman Ibu Ira, peserta mendapatkan gambaran mengenai permasalahan emosional siswa dan strategi untuk menghadapinya. Kegiatan dilanjutkan dengan adanya diskusi kelompok yang terdiri dari 5 sampai 6 guru. Peserta diajak untuk mendiskusikan mengenai permasalahan sosial emosional guru dalam pendampingan siswa, kendala apa saja yang dihadapi, dan  solusi untuk permasalahan tersebut. Hasil diskusi yang terbaik ditampilkan dalam role play dan ditutup dengan tiga guru yang berbagi pengalaman best practice dalam mendampingi siswa.

Dari seminar KSE ini, kita dikuatkan kembali untuk dapat menjadi guru yang otentik. Selaras dengan pandangan Erich Fromm yang menyatakan bahwa puncak dari kedamaian bukanlah terbebas dari suatu hal saja, melainkan kebebasan untuk menjadi diri sendiri, hidup sesuai dengan nilai-nilai, dan potensi pribadi. Dengan menjadi otentik kita akan mendidik dan mendampingi anak-anak yang telah dipercayakan dengan sepenuh hati tanpa beban dan keterpaksaan. Hal ini menimbulkan pertanyaan reflektif untuk mempersiapkan diri menjelang tahun ajaran baru: “Saya ingin dikenal sebagai guru yang seperti apa?”

S.Fajar Dewi Utami, SPsi – Guru BK SMA Regina Pacis Solo

Kampus Ursulin Regina Pacis Solo: smp-reginapacis-slo.sch.id/ dan smareginapacis-solo.sch.id/

Kampus Ursulin Maria Assumpta Klaten: mariaassumpta.sch.id/