TANGERANG, SERVIAMNEWS.com– Hari Pangan Sedunia (HPS) sudah menjadi salah satu tradisi khusunya bagi para peserta didik di kampus SMP St. Ursula Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang Banten. Dalam memperingati HPS 2018, OSIS SMP St. Ursula BSD membuat empat kegiatan yang telah dilaksanakan sejak 9 Oktober – 16 Oktober 2018. Rangkaian kegiatan dimulai dari pengumpulan beras, kolekte, mabar (makan bersama), dan “No Gadget Day”.
Kolekte dilakukan selama dua hari yakni 9 Oktober dan 16 Oktober. Kolekte dikumpulkan dari tiap kelas dan dihitung oleh Tata Usaha. Total dari uang tersebut disumbangkan kepada orang-orang yang kurang mampu.
Sementara itu, pengumpulan beras dilakukan selama 3 hari pada 11 Oktober – 13 Oktober. Pengumpulan beras dilakukan di Hall SMP/SMA St. Ursula BSD. Beras yang dikumpulkan juga bermacam-macam. Tidak hanya beras putih, tetapi ada juga beras merah yang disumbangkan oleh para peserta didik. Terlebih lagi untuk mengurangi sampah plastik, setiap peserta didik membawa beras yang akan disumbangkan dalam kotak makan atau botol minum. Beras yang dikumpulkan nantinya akan diberikan ke orang-orang membutuhkan yang ada disekitar BSD.
Selanjutnya kegiatan mabar atau singkatan dari makan bersama ini juga tak kalah ikut meramaikan HPS. Setiap peserta didik diminta untuk membawa bekal jajanan tradisional masing-masing yang akan dimakan bersama-sama. Kegiatan mabar ini dilaksanakan pada Selasa, 16 Oktober 2018. Setiap kelas melaksanakan kegiatan mabar di depan selasar kelas masing-masing dan membentuk sebuah lingkaran yang memanjang.
Setelah itu, beberapa pengurus OSIS SMP akan menaruh helaian daun pisang memanjang di tengah pada setiap kelas. Kemudian, peserta didik dapat meletakkan jajanan tradisional yang mereka bawa diatas daun pisang dan memakannya secara bersama-sama. Beberapa peserta didik mengatakan bahwa kegiatan mabar ini telah menjadi salah satu momen seru bagi masing-masing kelas.
Pada hari yang sama dilaksanakan gerakan “No Gadget Day” yang berlaku bagi seluruh peserta didik. Khusus dihari itu, peserta didik tidak diperkenankan untuk membawa gawai berupa telepon genggam (handphone) ke sekolah. Hal itu dikarenakan, sudah banyak yang memberikan komentar tentang kurang adanya interaksi peserta didik yang membawa gawai ke sekolah dengan orang lain.
Tidak hanya itu, kecenderungan anak milenial sangat sering berkomunikasi dengan teman ataupun orang lain melalui gawai. Anak-anak zaman milenial itu lebih cenderung berfokus pada gawainya, sehingga kegiatan ini dilaksanakan untuk mengurangi hal tersebut. Khusus bagi peserta didik yang pulang sekolah menggunakan kendaraan daring, sekolah sudah memberi tahu kepada masing-masing orangtua peserta didik dan memberikan sarana khusus.
Kegiatan HPS kali ini berhasil diisi dengan keindahan yang kita semua berikan. Untuk itu, semangat dan antusias ini perlu dipertahankan untuk kegiatan-kegiatan yang akan diselenggarakan selanjutnya.
Ancilla Vida/VIIIB dan Ancilla Elsa/VIIIC
Sekolah Santa Ursula BSD selalu berupaya untuk mengembangkan setiap peserta didik menjadi manusia yang utuh, cerdas, dan memiliki semangat melayani. Proses belajar nilai-nilai hidup, kearifan lokal, budaya setempat tentu tidak akan bisa dipelajari secara mendalam di bangku sekolah. Ketika peserta didik sudah berada di kelas XII maka mereka wajib mengikuti kegiatan live in.
Live in adalah tinggal dan hidup bersama. Bersama siapakah? Tentu bukan bersama keluarga di rumah tetapi bersama sebuah keluarga baru. Melalui belajar “tinggal bersama” dengan teman dan keluarga baru, peserta live in akan belajar banyak hal baru pula. Mereka harus belajar saling mendukung, saling menguatkan dengan teman pasangan tinggalnya.
Selanjutnya, mereka akan belajar “hidup” bersama keluarga baru mereka. Banyak hal pasti berbeda dengan kehidupan keseharian mereka. Rumah dan lingkungannya pasti merupakan hal yang sungguh-sungguh baru karena mereka tinggal di desa. Selama 5 hari 4 malam mereka akan berelasi dan menjadi bagian dari seluruh kehidupan keluarga baru mereka.
Lelah, canggung, bingung, tidak bisa berkomunikasi (kebanyakan penduduk desa berbahasa Jawa), tidak tahu apa yang harus dilakukan, rindu keluarga di rumah, rindu tempat yang bersih adalah keluhan awal yang muncul dari peserta didik. Namun, sapaan yang ramah dan tulus, serta kasih keluarga dari masyarakat desa ternyata mampu menyentuh mereka secara pribadi sehingga akhirnya mereka berani membuka diri dengan terlibat dalam seluruh dinamika kehidupan keluarga.
Desa Samigaluh, Tetes, Balong, dan Gorolangu di Paroki Boro menjadi desa lokasi live in Santa Ursula BSD untuk tahun 2018. Semua desa tersebut terletak di daerah perbukitan yang kering dan tandus. Perjalanan naik turun, rumah-rumah dengan lokasi berjauhan, sawah dan ladang yang jauh dan kering, kesulitan air bersih karena musim kemarau, menjadi tantangan yang sangat menarik.
Di sinilah, peserta live in belajar peduli dan berempati dengan masyarakat sekitar. Mereka belajar bertahan untuk tidak mandi dan mencuci rambut setiap hari karena tidak ada air padahal badan begitu berkeringat. Mereka belajar keras untuk keluar dari zona nyaman mereka. Maka, live in di Santa Ursula BSD bukan lagi sekedar berpindah tempat, belajar bertani, belajar beternak, belajar memasak, atau bahkan berwisata tetapi waktu untuk belajar tentang hidup dan kehidupan secara nyata. L.M. Sri Sudartanti Purworini
Oleh: Sabina Prajnamalini P. S.
Waduk Jatiluhur menjadi rumah baru bagi kami selama 6 hari itu. Kami, siswa kelas 11 SMA Santa Ursula BSD terbagi ke dalam 2 gelombang. Gelombang pertama berangkat pada tanggal 3-8 September dan gelombang kedua pada tanggal 10-15 September. Bersama teman-teman di dalam kelompok, kami menjalani serangkaian kegiatan yang difasilitasi oleh tim Outward Bound Indonesia. Tanpa gawai, pendingin ruangan, dan segala kemewahan lainnya, kami diajak untuk hidup dan tinggal di alam terbuka, sekaligus terbuka terhadap alam itu sendiri.
Setiap hari kami melakukan semua kegiatan tanpa ada jadwal yang pasti. Satu-satunya hal yang bisa menjadi pegangan bagi kami adalah prinsip mengenai adanya konsekuensi. Semuanya ditentukan oleh kami dan hal itu akan berdampak pada banyak hal lainnya. Terlambat memulai, maka akan terlambat menyelesaikan. Semakin siang kami mengawali kegiatan kami, maka akan semakin malam kami tidur—sesederhana itu. Namun jika tidak ditepati, kelompoklah yang akan menanggung rugi.
Berbicara mengenai kelompok, tak dapat dipungkiri lagi bahwa ia merupakan salah satu unsur terpenting dalam perjalanan ini. Sebagai sebuah keluarga selama 6 hari, semua anggota dituntut untuk bisa memahami satu sama lain, saling menjaga, dan mendukung. Peran-peran berbeda yang harus kami ambil secara bergilir tiap harinya membuka peluang untuk belajar hal baru. Kami diajak untuk mampu membangun sinergi yang baik dan bertanggung jawab atas peran yang telah kami ambil. Dari pengalaman ini kami semakin memahami makna persahabatan itu sendiri.
Secara keseluruhan, semua kegiatan yang diadakan bersama tim OBI ini memang sangat menantang. Ia menguji ketahanan kami, baik secara fisik maupun mental. Ia mendorong kami untuk menembus batas-batas yang tadinya kami miliki. Kutipan dari Kurt Hahn, pendiri Outward Bound menyatakan bahwa ada sesuatu yang lebih di dalam diri kita dari yang selama ini kita ketahui. Semua kegiatan membawa kami sampai pada titik itu. Kami disadarkan bahwa setiap dari kami memiliki kekuatan dan itu sangat perlu untuk dikembangkan.
Di lingkungan OBI kami dikenalkan dengan istilah berlayar. Ia merupakan sebuah ungkapan yang menandai suatu momen saat kapal menarik jangkar meninggalkan pelabuhan menuju lautan lepas, siap menghadapi segala hal yang belum diketahui. Kami para peserta diajak untuk memaknai hal itu dengan dalam, bahwa sama seperti kapal-kapal itu, kami nantinya akan “melepas jangkar” dan pergi menuju lautan masa depan yang penuh tantangan. Kegiatan selama 6 hari bersama OBI menjadi sebuah simulasi kecil dari pelayaran besar itu. Sebuah pepatah mengatakan bahwa hal-hal hebat tidak pernah datang dari zona nyaman. Kegiatan bersama OBI mampu menunjukkan hal itu. Mau tidak mau kami memang harus berani keluar dari zona nyaman itu. Namun, itulah makna dari kegiatan ini: mengubah kami menjadi pribadi baru yang juga memiliki kekuatan baru. Fisik dan mental kami ditempa habis-habisan namun itulah yang membentuk karakter kami, karakter seorang pejuang. Kini, kami telah siap menerima tantangan-tantangan lain yang akan diberikan. Satu-satunya hal yang harus kami lakukan adalah berlayar, berlayar, dan berlayar!