By: ServiamAdminus
Comments: 0
TANGERANG, SERVIAMNEWS.com– Banyak orang mengatakan bahwa proses pembelajaran akan semakin lengkap bila tidak hanya dilakukan di dalam kelas saja. Peserta didik dan guru harus pula merasakan dan mengalami kegiatan belajar di luar kelas dengan harapan bahwa akan ada semakin banyak hal yang bisa ditemukan dipelajari. Ada banyak kegiatan yang bisa memfasilitasi hal ini, mulai dari kemah, outbound, dan lain sebagainya. Setiap sekolah memiliki gaya dan konsep masing-masing, tetapi tujuan mereka tetaplah sama: membentuk pribadi-pribadi berkarakter dalam diri setiap peserta didik. Salah satu kegiatan yang dipilih oleh SMA Santa Ursula BSD adalah live in.
Konsep kegiatan live in SMA Santa Ursula BSD sangat khas. Di dalam kegiatan ini, kami, peserta didik kelas 12, diajak untuk tinggal bersama dan mengalami perjumpaan dengan warga di dusun yang kami tinggali. Kami harus bisa meninggalkan kebiasaan kami di rumah dan menyesuaikan diri dengan kebiasaan masyarakat di Boro. Kami diajak untuk memberikan diri kami seutuhnya dan mengikuti seluruh kegiatan yang dilakukan oleh anggota keluarga di rumah. Dengan hati yang terbuka, kami dituntut untuk bisa mendekatkan diri dengan keluarga baru kami dan menemukan hal-hal berkesan dan berharga.
Pada tahun ini, kegiatan live in kami laksanakan di daerah Boro, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kegiatan dimulai dengan keberangkatan kami pada tanggal 24 Agustus dan selesai waktu kepulangan kami pada tanggal 29 Agustus 2019. Kegiatan live in kami kemudian ditutup dengan refleksi dan merencanakan tindak lanjut sebagai ungkapan syukur dan terima kasih karena kami telah diterima oleh warga desa setempat dengan sangat luar biasa.
Ada 4 dusun yang dijadikan tempat tinggal kami, yaitu Nyemani, Madigondo, Balong, dan Tetes. Di sana, masing-masing dari kami tinggal berpasangan dengan teman dari sekolah dan juga keluarga pemilik rumah. Rata-rata, penghuni desa-desa itu sudah berusia lanjut, tetapi ada pula yang masih memiliki anak yang tinggal di rumah itu. Hampir semua orang di daerah itu berprofesi utama sebagai petani. Ada juga yang bekerja sebagai guru, pedagang atau pemilik warung, peternak, dan lainnya. Di rumah saya, Pak Bandi, Ibu Marjinem, dan Pak Mardi bekerja sebagai petani. Mereka memiliki kebun dengan berbagai tanaman, yaitu cengkeh, kapulaga, salak, kelapa, pisang, vanili, dan kemukus. Mereka juga memiliki beberapa hewan ternak seperti ayam dan kambing. Hidup keluarga ini sangat bergantung pada hasil penjualan panenan tanaman-tanaman tersebut, sama seperti banyak keluarga lainnya di daerah Boro.
Setiap hari, kami melakukan aktivitas yang dilakukan oleh anggota keluarga di rumah kami. Saya bersama teman serumah ikut Ibu ke hutan dan memanggul pulang kayu serta blarak dengan kain yang dipinjamkan Ibu. Kami turut menemani Bapak dan Ibu menjemur cengkeh di pagi hari dan mengumpulkannya kembali ketika hari sudah sore. Tak lupa, kami pun sering berkeliling ke lingkungan sekitar dan bertemu dengan warga lainnya. Di rumah dengan tungku sederhana, seperangkat alat masak, dan berbagai macam bahan makanan, kami membantu Ibu menyajikan hidangan yang akan disantap hari itu. Di samping itu, setiap hari kami juga melakukan kegiatan refleksi bersama teman-teman dari sekolah yang tinggal di desa yang sama. Kami diajak untuk menceritakan pengalaman dan pelajaran berharga yang kami dapatkan dari pengalaman tersebut.
Di dalam proses kegiatan ini, kami bisa menangkap dan merasakan banyak hal terkait dengan kekhawatiran masyarakat di sekitar kami. Ada yang agak lelah menanti musim hujan yang tak kunjung datang. Ujung-ujungnya, tanaman yang telah dirawat tidak bisa memberikan hasil panen yang baik. Ada pula yang pernah menjadi korban pencurian cengkeh yang telah dijemur. Lain lagi, ada keluarga yang selalu mengharapkan pulangnya putra-putri yang tengah merantau supaya rasa kesepian itu cepat menghilang.
Namun, di balik itu semua, hadir pula tawa dan kebahagiaan sebagai penyeimbang. Ada ucapan syukur yang dipanjatkan ketika hujan turun. Ada tawa yang dibagikan dalam setiap perjumpaan di berbagai sudut dusun. Ada bincang hangat yang turut hadir bersama datangnya sanak saudara-dan anggota keluarga baru-seperti saya dan teman-teman. Bersama mereka, saya bisa melihat bahwa kehadiran masyarakat yang selalu memberikan dukungan dan penguatan memiliki peran yang sangat penting bagi setiap pribadi di sini. Itulah yang membuat mereka selalu bertahan meski tengah menghadapi masalah.
“Saya bisa menemukan nilai daya juang dari kegiatan ini. Meski warga di sana memiliki kekurangan dari segi ekonomi dan akses terhadap hal-hal tertentu, mereka tetap menjalani aktivitasnya dengan semangat dan tak pernah sedikit pun mengeluh. Selain itu, saya merasakan kebersamaan antarwarga desa yang tak pernah dirasakan di kota. Hal ini tercermin dari keakraban warga yang terlihat dalam setiap kesempatan yang ada,” papar Bonaventura Pawitra (XII-MIPA2) terkait pengalaman yang diperoleh dari kegiatan live in. Selain Witra, Jessica Devy (XII-IPS2) memaparkan bahwa perjumpaan dengan keluarga Bapak Sukarman merupakan pengalaman penting baginya. Pelajaran tentang ketulusan, selalu bersyukur, dan kesederhanaan ia dapatkan di tengah-tengah keluarga itu. Ia merasa seperti terisolasi karena jauh dari hiruk pikuk kota, tidak ada gawai, jauh dari keluarga asli, dan tidak boleh mengunjungi teman. Namun, ia tak menyangka bahwa ternyata semua itu sangat membantunya dalam mengolah hidup dengan lebih baik. Selain kedua teman saya ini, tentu seluruh peserta live in memiliki cerita masing-masing dan dari cerita itu kami belajar berbagai macam hal yang tentu sangat membekas dan berguna bagi kami ke depannya.
Tanah Boro telah dan akan terus melahirkan sosok-sosok hebat yang daripadanya kami belajar banyak hal. Saya sendiri semakin memahami arti kerja keras yang wujudnya akan selalu berbeda bagi setiap orang dan bahwa semuanya harus diapresiasi sebagai penghormatan atas hidup manusia. Rasa syukur atas segala yang dimiliki semakin saya pahami sebagai syarat mutlak untuk hidup bahagia, sesederhana apa pun hidup itu sendiri. Di atas semua itu, hal terbesar (namun sederhana) yang saya dapatkan adalah menemukan kembali makna keluarga. Keluarga adalah rumah bagi setiap orang yang datang padanya, yang mampu menghadirkan kehangatan dan menjadi tempat berlindung. Keluarga bukan (hanya) tentang ikatan darah, melainkan tentang relasi dan bersatunya jiwa yang menghuni raga orang-orang di dalamnya.
Pada akhirnya, perjalanan ini adalah tentang nilai-nilai baik, butir-butir penting atas semua peristiwa yang terjadi dan kami alami, dan kami semua telah menemukannya. Matur nuwun sanget, Boro!
Sabina Prajnamalini Pusposari Sumarno
XII-IPB/10
Kampus Santa Ursula BSD : https://www.sanurbsd-tng.sch.id/
Serviam