Sr. Viktoria Dalima, OSU  

Dosen STPM Santa Ursula Ende

Tahun 2025 adalah Tahun Yubileum, dan Gereja Katolik di seluruh dunia menyambutnya dengan tema: Pilgrims of Hope (Peziarah Harapan). Sebagai umat beriman, kita diajak berjalan bersama sebagai peziarah: melangkah dalam iman, dipenuhi harapan, dan bersandar pada kasih Allah yang setia. Di tengah dunia yang haus akan makna, keadilan, dan pengharapan sejati, kehadiran sosok-sosok yang mampu menyalakan harapan menjadi sangat penting. Salah satunya adalah Santa Angela Merici, seorang perempuan sederhana yang hidupnya menjadi inspirasi lintas zaman.

Santa Angela (Angela Merici) adalah perempuan inspiratif pembawa harapan. Ia menjalani hidupnya sebagai pilgrim of hope sejati, dengan iman yang teguh, kasih yang nyata, dan keberanian untuk menjawab kebutuhan zaman. Di masa ketika perempuan sering terpinggirkan, ia justru membuka ruang bagi pendidikan dan pelayanan. Ia membangun komunitas yang menumbuhkan iman dan memulihkan martabat perempuan. Visi profetiknya melampaui batas waktu, dan hingga hari ini, buah karyanya tetap hidup melalui para Ursulin yang meneruskan semangatnya.

Angela Merici lahir di Desenzano, sebuah kota kecil di tepi Danau Garda, Italia Utara, pada tahun 1474. Ayahnya bernama Giovanni Merici dan ibunya Caterina Biancosi. Di zaman itu, tidak semua perempuan diizinkan mengenyam pendidikan formal. Namun, orang tua Angela memiliki kepedulian besar terhadap perkembangan pribadi anak-anak mereka. Angela belajar membaca dan menulis dari kedua orang tuanya.

Saat itu, Eropa sedang dilanda perang berkepanjangan yang membawa penderitaan luas: banyak keluarga kehilangan orang-orang yang mereka cintai, anak-anak terlantar, ekonomi terpuruk, dan kehidupan moral masyarakat memburuk. Dalam Gereja pun, pilihan hidup terbatas: menikah atau menjadi biarawan/biarawati monastik. Bahkan, tidak semua umat Katolik diperkenankan menerima Komuni Kudus. Namun, Angela tidak kecewa, patah semangat, atau menyerah. Ia melihat situasi itu sebagai peluang untuk menghadirkan harapan baru. Salah satu contohnya: agar dapat menerima Komuni, Angela bergabung dengan Ordo Ketiga Fransiskan. Sebagai anggota ordo ini, ia mendapat ruang untuk menolong sesama yang menderita.

Angela tidak memilih salah satu bentuk hidup baku dalam Gereja saat itu. Ia justru menawarkan jalan baru: hidup selibat di luar tembok biara, menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan dan melayani-Nya melalui sesame terutama mereka yang paling membutuhkan.

Bagi kita, kaum perempuan muda yang hidup di era serba instan dan berteknologi tinggi, ada tantangan tersendiri: mudah patah semangat, tidak sabar menghadapi proses, dan cepat putus asa. Dari Angela, kita belajar keberanian untuk menghadapi tantangan dan kemampuan memunculkan inspirasi baru dalam keterbatasan.

Angela menyadari bahwa cita-cita besar tidak dapat dicapai dengan kekuatan sendiri. Ia senantiasa bertanya dalam hatinya: “Apa yang harus aku lakukan bagi sesamaku yang menderita?” Dalam suatu penampakan di Brudazzo, ia melihat tangga yang menghubungkan langit dan bumi, dan para malaikat turun-naik di atasnya. Di antara mereka, tampak kakaknya yang telah meninggal, yang selama ini selalu ia doakan. Kakaknya menyampaikan pesan bahwa suatu hari nanti, Angela akan mengumpulkan perempuan-perempuan muda yang akan mengabdikan hidup mereka secara total kepada Tuhan.

Sejak saat itu, Angela semakin tekun berdoa, baik dalam Perayaan Ekaristi, doa pribadi, maupun melalui ziarah ke Roma dan Tanah Suci. Ia membuka diri sepenuhnya terhadap bimbingan Tuhan dan menyerahkan seluruh hidupnya kepada kehendak Allah.

Angela mengajak kita, kaum perempuan, untuk mencintai Tuhan di atas segalanya, membuka hati bagi pimpinan-Nya, dan membina relasi yang mendalam melalui doa dan Perayaan Ekaristi. Ia pernah berkata. “Berdoalah, dan usahakan agar orang lain juga berdoa, supaya Allah tidak meninggalkan Gereja-Nya.” Ia juga menegaskan: “Engkau tidak akan menemukan perlindungan lain kecuali di kaki Yesus Kristus. Serahkanlah dirimu dengan rendah hati dalam perlindungan tangan-Nya yang kuat, maka engkau akan selamat dan diterangi.”

Angela setia pada panggilannya hingga akhir hayat. Ia menekankan hidup dalam kasih, saling meneguhkan dalam panggilan, dan membaktikan diri demi pembaruan moral masyarakat dan Gereja. Baginya, kehidupan apostolik adalah kehidupan yang sesuai dengan teladan Kristus yang datang dari pangkuan Bapa demi keselamatan dunia.

Angela adalah pribadi yang tekun berkontemplasi sekaligus aktif dalam aksi. Ia mencintai keheningan untuk menimba kekuatan dari Tuhan, namun juga penuh semangat melayani demi kemanusiaan. Dalam kontemplasi, ia menemukan inspirasi untuk berbicara dan bertindak. Ia tahu kapan dan bagaimana menyampaikan kebenaran dengan bahasa kasih, yang membangun persaudaraan sejati.

Cahaya kebijaksanaan yang terpancar dari dirinya bersumber dari Tuhan. Ia menjadi terang bagi banyak orang di Brescia yang haus akan harapan dan kepercayaan kepada Allah. Tentu, bukan Angela yang bercahaya, tetapi Kristus, Sang Mempelai, yang memancar melalui dirinya. Cahaya itu menumbuhkan harapan baru dalam hati setiap orang yang menjumpainya.

Angela juga memusatkan perhatian pada dunia perempuan dan kesetaraan gender. Ia memiliki intuisi kenabian tentang pentingnya peran perempuan dalam Gereja dan masyarakat. Ia adalah seorang “feminis-religius” yang membaca tanda-tanda zaman dan menanggapi kenyataan sosial dengan visi masa depan. Pesan utamanya Adalah (1) Cinta akan Allah dan manusia dihidupi sebagai satu kesatuan, dan (2) Kontemplasi dan kerasulan tak terpisahkan dalam hidup beriman.

Menjelang wafatnya, Angela berpesan kepada para pengikutnya: “Jaga persatuan, hiduplah dalam semangat kasih, dan setialah kepada Tuhan dan Gereja.” Ia juga meyakinkan mereka: “Jika Allah sendiri yang telah mendirikan kompani ini, Allah tidak akan meninggalkannya.” Dan yang paling menguatkan: “Aku akan selalu berada di tengah-tengah kalian dan menyampaikan doa-doamu kepada Tuhan.”

Angela memberi harapan kepada para pengikutnya bahwa, dengan menyadari diri sebagai mempelai Kristus, hidup mereka akan penuh penghiburan. Ia berkata bahwa: “Semua kesedihan akan berubah menjadi sukacita, dan jalan yang berduri, curam, serta berbatu-batu akan menjadi berbunga, indah, dan penuh kegembiraan.”

Angela dikukuhkan sebagai santa oleh Paus Pius VII. Ia dikenang sebagai perempuan pendoa, pribadi apostolik yang ramah dan penuh kasih, seorang pendidik bijaksana, guru yang penuh cinta, dan ibu rohani bagi banyak orang.

Hari ini, kita semua dipanggil menjadi Angela-Angela masa kini; perempuan yang menyalakan inspirasi positif dalam langkah hidup sehari-hari. Situasi sulit bukan penghalang, melainkan peluang untuk menciptakan cara baru yang menyegarkan dan bermakna.

Sebagai Angela zaman ini, hidup kita harus memancarkan cahaya harapan bagi sesama: peduli, berbagi, dan melayani dengan sukacita. Namun, untuk dapat memancarkan harapan, kita harus memiliki relasi yang mendalam dengan Tuhan seperti Angela.
Dari kedalaman relasi inilah, cahaya harapan Tuhan terpancar melalui kita dan menyentuh hati setiap pribadi yang kita jumpai, hingga akhirnya mereka pun dikuatkan untuk berjalan bersama sebagai peziarah harapan.

“Orang yang paling indah dalam hidup saya adalah Ibu. Apa pun yang saya raih dan capai saat ini, semua berasal darinya. Semua kemampuan, intelektual, dan peran yang saya jalani bersumber darinya.”

(George Washington, peletak dasar Amerika Serikat dan cikal bakal perubahan dunia).

Bagi seorang George Washington, ibu menjadi sumber dan pusat hidupnya. Sosok ibu memiliki kemampuan tidak hanya berkaitan dengan hidup biologisnya saja tetapi menjadi sumber dari segala pencapaian mimpi Washington. Kemampuannya menjadi seorang pemimpin besar bersumber dari teladan sosok ibu. Maka tak heran ibu adalah orang yang paling indah dalam hidup Washington. Bagaimanakah dengan diri kita?

Siapakah Ibu ?

Dalam sejarah kehidupan seorang manusia, ibu adalah sosok utama yang paling penting dalam hidupnya. Ibu adalah sumber kehidupan. Ia berperan melahirkan manusia-manusia baru melalui rahim yang mengandungnya selama sembilan bulan lebih. Bahkan tidak hanya melindungi calon kehidupan baru tetapi ia juga menghidupinya. Tanpa ketulusan hatinya untuk menerima calon manusia baru dalam rahimnya maka tidak akan pernah muncul kehidupan baru. Mungkin itulah hal yang dipahami selama ini dari kata “ibu”. Orang yang melahirkan manusia baru. Dari pemahaman tersebut maka ibu yang kita kenal pastilah seorang perempuan.

Dalam Kitab Suci, panggilan terhadap sosok perempuan terbagi menjadi panggilan perempuan sebagai ibu/istri yang merupakan ethos, panggilan perempuan yang bekerja, dan panggilan perempuan sebagai biarawati. Status perempuan sebagai seorang ibu dikatakan oleh Yohanes sebagai berikut :

…”26 Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya: “Ibu, inilah anakmu!” 27 Kemudian kata-Nya kepada murid-murid-Nya: “Inilah ibumu!” Dan sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya.”

Dalam kutipan tersebut, Yesus menunjuk Bunda Maria menjadi ibu dari mereka semua yang dihantar kepada hidup melalui wafatnya Sang Putra Tunggal. Yesus menunjukkan bahwa diri Bunda Maria yang menjadi sosok biologis bagi diri-Nya juga memiliki dimensi keibuan.

Bunda Maria menjadi sosok atau figur seorang ibu yang sangat ideal. Pusat kehidupannya adalah bersama Yesus, anaknya : mengandung, melahirkan, membesarkan, selalu mengikuti jalan-Nya, hadir dan menguatkan dalam penderitaan, serta mendampingi saat ajal menjemput.  Ia memenuhi panggilan Tuhan. Di sini kita melihat betapa sungguh luar biasa peranan Bunda Maria, tidak hanya bagi Yesus, tetapi bagi sejarah keselamatan umat Allah. Dimensi keibuan Maria muncul ketika ia hadir tidak hanya untuk puteranya (biologis) tetapi untuk semua manusia yang meyakini keselamatan melalui putra-Nya.

Dimensi Keibuan

Menjadi perempuan adalah kelahiran, menjadi ibu sejati adalah pilihan. Melalui jiwa seorang ibu, anak akan belajar banyak hal. Seorang anak akan belajar bersyukur kepada Tuhan melalui doa bersama ibu. Seorang ibu yang beriman akan selalu memberikan contoh mengucap syukur atas berkat Tuhan, dalam setiap kesempatan. Seorang anak juga akan belajar mengandalkan Tuhan dalam seluruh kehidupannya melalui teladan seorang ibu.

Ketika seorang anak bertumbuh semakin besar, ia pasti akan menjalin relasi dengan banyak orang. Kadang kala relasi itu tidak terbangun dan berjalan mulus. Melalui kesabaran dan maaf yang tak terbatas untuk anak-anaknya maka seorang anak akan belajar memiliki pengendalian diri, kesabaran, dan pengampunan yang tiada batas juga untuk sesama yang telah melukai dan menyakiti hatinya. Kebesaran jiwa seorang ibu inilah yang diteladani oleh anak-anaknya.

Seorang ibu akan selalu mendorong anaknya untuk kembali bangkit setelah ia terjatuh. Mulai saat seorang bayi belajar merangkak, berjalan tertatih-tatih, terjatuh, dan bangun lagi, ibulah yang selalu memberikan semangat untuk terus mencoba. Ibu yang bijaksana tahu bahwa tidak ada kesuksesan tanpa perjuangan maka ia akan selalu mendorong anak-anaknya untuk terus berjuang meraih mimpi. Ia akan mendampingi anak-anaknya berjuang dari kesalahan untuk menjadi lebih baik. Bagi seorang ibu, proses belajar lebih utama daripada hasilnya. Pujian yang tulus dari seorang ibu akan menumbuhkan kreativitas, rasa dihargai dan percaya diri dalam diri seorang anak. Seorang ibu memang motivator paling unggul.

Mendengarkan orang lain bukan hal yang mudah. Sikap ini sering muncul saat seseorang berelasi dengan orang lain. Padahal mendengarkan orang lain adalah salah satu wujud saling menghargai. Dari manakah anak belajar mendengarkan? Tentu saja dari sosok ibu juga. Ketika ibu dengan sabar mendengarkan cerita gembira maupun sedih anak-anaknya, dari situlah anak belajar bersabar, cara menghargai, dan berelasi.

Seorang anak juga belajar sikap disiplin dan tanggung jawab dari ibu. Anak belajar bertanggung jawab melalui teladan yang ditunjukkan oleh sang ibu saat mengelola rumah tangganya. Bangun pagi, menyiapkan sarapan, membereskan rumah, adalah tanggung jawab yang dilakukan ibu.

Ketulusan ibu akan menjadi contoh bagi anak untuk belajar menjadi pemimpin besar. Ibu yang bijaksana juga tidak akan menuntut anak-anaknya untuk semata-mata mengejar prestasi akademis tetapi mengajak anak mengembangkan kecerdasan spiritual dan emosi secara seimbang. Ia tahu pasti bahwa nilai akademis tidak menjadi tolok ukur keberhasilan anaknya. Maka ia akan selalu memberikan kesempatan kepada anak-anaknya untuk mengaktualisasikan dirinya dengan caranya sendiri.

Keteladanan ibu yang lainnya adalah ketika anak belajar berbagi dan memiliki jiwa sosial yang tinggi. Seorang ibu pasti akan menjadi ibu untuk siapa pun yang membutuhkan. Kasih seorang ibu tidak akan memandang hubungan darah. Ia akan menjadi ibu bagi darah dagingnya sendiri maupun orang lain. Dari sikap inilah, anak belajar sikap belas kasih tanpa batas.

Siapakah Setiap Jiwa?

Setiap insan yang hadir di hadapan kita adalah manusia yang memiliki jiwa, memiliki roh dalam badan jasmaninya. Insan tersebut terutama hadir dalam sosok peserta didik kita. Driyarkara mengatakan bahwa peserta didik adalah manusia yang sedang dalam perjalanan menuju kemanusiaannya (Driyarkara, 1980). Manusia-manusia muda ini tentu baru berada dalam tahap perkembangan menjadi manusia dewasa maka dapat dikatakan bahwa ia masih perlu bimbingan dan pendampingan (Tanlain, 1996). Di dalam diri setiap peserta didik inilah Allah hadir karena mereka semua adalah anak Allah. Kita juga harus selalu ingat bahwa dalam setiap jiwa mereka, Allah hidup dan berdiam serta menunjukkan citra-Nya.

Penghargaan terhadap anak-anak Allah harus nyata dalam usaha mengenal, memahami, dan mencintai setiap peserta didik. Tidak semua peserta didik adalah anak yang menyenangkan, gembira, kreatif, pandai, cerdas, peduli, dan semua nilai baik lain yang kita harapkan ada dalam diri mereka. Seringkali justru mereka hadir dalam sosok yang tertutup, penyendiri, menyebalkan, murung, bodoh, pemberontak, dan juga semua nilai kurang lain yang bisa kita tambahkan. Namun, penting disadari bahwa setiap pribadi peserta didik adalah unik. Di sinilah kehadiran kita sebagai seorang “ibu” sungguh dibutuhkan oleh orang lain, terutama peserta didik kita. Maka dapat dipahami bahwa setiap jiwa di sini adalah setiap peserta didik yang hadir dan dipercayakan Allah kepada kita. Seorang guru akan menjadi ibu bagi peserta didiknya.

Menjadi Ibu bagi Setiap Jiwa

Menilik uraian di atas, dimensi keibuan seseorang tidak hanya muncul dalam sosok perempuan. Setiap orang yang memiliki dan mewujudkan dimensi “keibuan” dalam dirinya adalah seorang ibu bagi setiap jiwa. Bukan hanya perempuan yang berpendidikan tinggi yang mampu mendidik seorang anak tetapi setiap orang yang memiliki dimensi keibuan dalam dirinya itulah yang mampu menumbuhkembangkan seorang anak menjadi pribadi yang utuh.

Menjadi guru adalah panggilan jiwa yang mewujud pada sosok pribadi yang menumpahkan seluruh perhatiannya, mengerahkan segala daya upayanya untuk keberhasilan anak didiknya. Sosok pribadi yang seperti apakah? Sosok pribadi, baik laki-laki maupun perempuan yang memiliki dimensi keibuan bagi peserta didiknya. Tidak hanya kaum perempuan. Hal ini perlu ditegaskan karena dalam sosok guru laki-laki sekali pun akan muncul dimensi keibuan ketika ia hadir menjadi seorang ibu bagi peserta didiknya.

Santa Angela dalam nasihatnya yang ketujuh, ayat 8, mengatakan

“Memang pantas dan layak bahwa seorang ibu menjadi contoh dan cermin hidup bagi puteri(a)-puteri mereka, terutama dalam kesederhanaan, tingkah laku dan sopan santun.” (Nasihat 7, ayat 8)

Bagi Angela Merici, seorang ibu adalah sosok yang penuh kelembutan, perhatian, dan cinta, setia dalam setiap tugas besar maupun kecil, dan teladan bagi putera-puterinya terutama dalam hal kesederhanaan, tingkah laku, dan sopan santun. Contoh dan cermin hidup di atas tentu saja bisa dilakukan siapa pun yang berada dalam dunia pendidikan. Seorang guru laki-laki harus juga bisa menjadi cermin hidup bagi peserta didiknya, laki-laki maupun perempuan, bahkan juga bagi rekan kerjanya. Tentu saja tanpa ia harus menjadi perempuan bukan?

Lebih lanjut dalam prakata Warisan Bunda Angela, ayat 10-13, Santa Angela mengatakan

“10 Di antara sarana-sarana yang baik dan mutlak perlu yang disediakan Allah bagi saya, Andalah yang terpenting 11Anda dianggap pantas menjadi ibu-ibu yang sejati dan penuh kasih sayang dari keluarga yang agung ini, 12yang telah diserahkan kepada Anda13 supaya Anda menjaganya sama seperti puteri(a)-puteri yang lahir dari Anda sendiri, bahkan lebih dari itu.” (Warisan Santa Angela, ayat 10-13)

Sejalan dengan ayat di atas, Romo Mangunwijaya mengatakan bahwa “tugas pendidikan seyogyanya mampu mengantar dan menolong peserta didik untuk mengenal dan mengembangkan potensinya agar menjadi manusia mandiri, dewasa, utuh, merdeka, dan solider. Mewujudkan harapan tersebut maka sosok guru dengan tampilan pribadi yang dialogis, kreatif, beriman teguh menjadi keharusan yang mutlak. Guru ideal adalah pendidik bukan pengajar dan penatar, bapak, ibu, dan sahabat, bukan tuan atas diri peserta didik.

Bagaimana kita akan melakukan itu semua? Menjadi ibu bagi setiap jiwa mengandaikan bahwa kita mampu mewujudkan dimensi keibuan dalam tugas kita sebagai guru. Tidak hanya untuk peserta didik, tetapi juga untuk rekan kerja yang sedang membutuhkan kehadiran ibu. Ketika seluruh sikap, perbuatan, perkataan, perilaku kita dalam hidup sehari-hari mencerminkan nilai-nilai hidup yang positif dan menumbuhkan pribadi lain, saat itulah kita hadir menjadi ibu. Kita hanya perlu menyediakan waktu yang berkualitas untuk mereka yang membutuhkan. Waktu itulah  kita gunakan untuk menjadi pendengar yang baik, terutama peserta didik kita.

Santa Angela Merici menunjukkan betapa penting seorang guru mengenal dan memahami setiap peserta didik yang dipercayakan kepadanya. Ibarat seorang pemahat yang mengukir dengan seluruh ketelitian sehingga menghasilkan sebuah patung yang luar biasa, demikian juga seorang guru. Bukan hal sulit untuk dilakukan jika seorang guru memiliki cinta sejati, cinta seorang ibu bagi setiap peserta didiknya. Cinta ini tentu akan menumbuhkan sikap melayani tanpa syarat.

Marilah kita melihat kembali perjalanan hidup kita sebagai pendidik. Sudahkah kita bersedia menjadi “ibu” bagi setiap jiwa, setiap anak, setiap peserta didik yang dipercayakan Allah kepada kita? Kita tidak harus mulai dengan hal-hal besar tetapi dengan sebuah cinta yang tulus. Ibu yang penuh kelembutan, keramahan, dan cinta yang tak terbatas bagi setiap jiwa peserta didik.

L. M. Sri Sudartanti Purworini (SMA Santa Ursula BSD)

Daftar Pustaka

Driyarkara. 1980. Driyarkara Tentang Pendidikan. Yogyakarta : Kanisius

Ursulin Unio Roma. 1995. Kata-kata Santa Angela : Regula, Nasihat, Warisan.

Tanlain, Wens. 1996. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Yogyakarta : Kanisius

Follow by Email
Instagram
Copy link
URL has been copied successfully!