Anastasia M. D. Batmomolin*
Krisis dapat dialami oleh siapa saja baik individu, kelompok, maupun organisasi. Krisis dalam organisasi umumnya berhubungan dengan keuangan, operasional, reputasi, regulasi, dan lain sebagainya. Dalam situasi krisis, pemimpin mempunyai peranan penting dan memegang kendali untuk menjaga stabilitas dan keberlangsungan organisasi. Pemimpin tidak hanya mengandalkan kemampuan berpikir kritis dan rasional tetapi terutama menggunakan hatinya. Krisis yang ditandai dengan situasi yang tidak stabil, tidak menentu, kompleks, dan ambigu mungkin menimbulkan perasaan kuatir dan takut, karyawan membutuhkan kehadiran pemimpin untuk membimbingnya mengenai apa yang harus dilakukan, apa yang diharapkan, dan bagaimana seharusnya bertindak. Karyawan membutuhkan pemimpin yang kuat, tenang, dan dapat dipercaya (Chen & Sriphon, 2021).
Mengapa seorang pemimpin perlu menggunakan hatinya untuk memimpin terutama di masa krisis? Saat ini, krisis ditandai pula dengan kebenaran yang semakin subyektif. Hati merupakan penuntun kesadaran moral, yang akan memandu perilaku dan tindakan seseorang. Hati juga adalah sumber cinta dan kebajikan serta kunci dari setiap relasi. Orang beriman percaya bahwa hati adalah tempat bersemayam Allah, penguasa segala sesuatu di dunia. Memimpin dengan hati berarti memimpin dari tempat di mana terdapat sumber hidup dan sumber kebenaran sejati. Hal ini sangat mungkin terjadi apabila seorang pemimpin selalu menjaga kemurniaan suara hatinya. Suara hati itu yang akan selalu menuntun ke arah pertimbangan dan pengambilan keputusan bagi sesuatu yang baik, benar, asli, jujur, dan tulus.
Pemimpin yang memimpin dengan hati umumnya lebih siap karena mereka memiliki kebijaksanaan dan kapasitas untuk secara positif menginspirasi karyawan serta mengarahkan organisasi menuju tingkat pertumbuhan berikutnya. Mereka berkomitmen untuk menciptakan masa depan tempat kerja yang lebih baik. Dengan pendekatan yang tulus kepada bawahan, mereka berhasil memotivasi tim untuk memberikan yang terbaik. Pemimpin menciptakan suasana kerja di mana karyawan merasa nyaman, aman, dan dapat berbicara secara terbuka, sehingga karyawan lebih termotivasi untuk memberikan segalanya bagi pemimpin mereka. Karyawan tidak bekerja untuk organisasi; mereka bekerja untuk pemimpin mereka (Rekhy R., 2019).
Pemimpin yang memimpin dengan hatinya adalah seorang humanis. Pemimpin humanis meletakan unsur kemanusiaan di atas segalanya. Sikap dan perilaku kepemimpinan mencerminkan kemanusiaan dirinya dan karena itu menghargai dirinya dan orang lain. Pemimpin yang menghargai dirinya sendiri, akan menerima diri apa adanya, dengan segenap kekuatan dan kelemahannya. Pemimpin yang mengenal dirinya dengan baik akan pula berusaha mengenal dan memahami karyawannya dengan baik pula. Pemimpin humanis menghidupi nilai-nilai atau keutamaan-keutamaan universal yang terpancar dari hatinya. Anadol & Behery (2020) menemukan 10 (sepuluh) atribut dari kepemimpinan humanis yaitu kerendahan hati, rasa hormat, kepedulian, keadilan, transparansi, orientasi kesejahteraan, kemurahan hati, fokus keluarga dan kehendak kuat. Nilai-nilai yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin saat krisis antara lain kepercayaan, keterampilan komunikasi yang baik, empati, kemauan untuk membantu, menginspirasi dan memotivasi orang lain, kemampuan untuk menangani perubahan (Chen & Sriphon, 2021), altruisme, integritas, pembelajaran, dan keterbukaan (Ramakrishnan, 2021). Memimpin dengan hati juga berarti menjunjung tinggi integritas yaitu prinsip etika dan moral. Selain itu, seorang pemimpin perlu menjaga kemurnian hati nuraninya terus-menerus dengan refleksi dan evaluasi diri, agar tetap memiliki komitmen dan konsisten terhadap nilai-nilai kebenaran obyektif. Lima nilai utama yang menjadi ciri kepemimpinan dengan hati di masa krisis yaitu percaya (trust), kebaikan hati (kindness), empati (empathy), integritas (integrity) dan refleksi (reflection).
Kepercayaan/trust. Kepercayaan merupakan dasar dari hubungan yang bermakna dan tulus, yang menjadi salah satu elemen kunci dalam meraih kesuksesan serta mencapai tujuan di berbagai jenis bisnis. Kepercayaan harus terjalin di antara anggota tim dan antara tim dengan pemimpin mereka (Mahdikhani & Yazdani, 2020). Selain itu, kepercayaan memiliki hubungan yang erat dengan kepemimpinan, pemberdayaan, dan kekompakan tim (Garro-Abarca et al., 2021). Ketika karyawan merasa dipercaya, karyawan akan memiliki perhatian yang lebih besar terhadap kewajibannya. Garro-Abarca et al., (2021) membuktikan bahwa kepercayaan merupakan kunci sukses untuk mencapai kinerja tinggi tim virtual dalam mengembangkan perangkat lunak. Ketika karyawan memercayai pemimpin, mereka cenderung menunjukkan niat dan perilaku yang positif karena yakin bahwa pemimpin akan bertindak demi kepentingan terbaik karyawan (Flavian et al., 2019). Sebagai contoh, pemimpin di beberapa rumah sakit di China menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan penuh rasa saling percaya. Dalam lingkungan semacam ini, para perawat termotivasi untuk melakukan hal serupa, yaitu memercayai orang lain dan merasakan kesehatan psikologis yang lebih baik. Ketika perawat diminta menjalankan tugas-tugas tertentu di luar uraian pekerjaan yang telah ditetapkan, mereka lebih bersedia “bekerja lebih keras” untuk melayani pasien tanpa rasa enggan (Huang et al., 2021).
Kebaikan hati (kindness). Pemimpin yang memimpin dengan hatinya akan menunjukan sikap dan perilaku yang baik kepada karyawannya. Kebaikan hati melahirkan perhatian dan cinta. Pemimpin akan memperhatikan dan membangun relasi yang baik dengan karyawan dan orang lain di sekitarnya. Dalam pandangannya, karyawan adalah sesama manusia yang memiliki harkat dan martabat yang sama seperti dirinya sehingga perlu diperlakukan dengan baik. Menurut Deshmukh (2021), pemimpin yang baik hati adalah orang yang jujur, terus terang, dan transparan dalam berkomunikasi dengan rekan kerja, bahkan selama situasi dan transisi yang sulit.
Prinsip common good (kebaikan bersama) menjadi tantangan hebat apalagi ketika krisis akut. Pemimpin yang memiliki hati akan berupaya untuk memperhatikan tidak hanya untung rugi organisasinya saja tetapi akan mempertimbangkan sungguh-sungguh akibatnya bagi karyawannya ketika membuat keputusan penting menyangkut organisasi. Dampak positif dari pemimpin yang baik hati pada karyawan adalah peningkatan kebahagiaan, motivasi, komitmen, keterlibatan, loyalitas, dan produktivitas. Kebaikan juga mengarah pada stabilitas, kreativitas, dan inovasi tim yang lebih besar. Perilaku pemimpin yang baik hati juga berdampak positif pada reputasi perusahaan, membantunya menarik dan mempertahankan pelanggan, orang bertalenta, dan mitra bisnis yang kuat (Deshmukh, 2021).
Gaya berkomunikasi seorang pemimpin sangat menentukan apakah ia memikirkan kepentingan dirinya atau kepentingan bersama sebagai reaksi atas krisis yang dihadapi, misalnya Watkin (2021) membandingkan gaya komunikasi krisis presiden Trump dan para gubernurnya selama pandemi COVID-19. Gaya komunikasi krisis Presiden Trump tidak konsisten dan tidak efektif karena Presiden Trump selalu mempertimbangkan untung rugi dari sisi politik, sedangkan para gubernur setia melaksanakan apa yang telah ditetapkan demi keselamatan masyarakat. Dalam situasi krisis, keterampilan komunikasi pemimpin kepada karyawan sangat penting. Pemimpin yang terampil dalam berkomunikasi akan membantu mengelola stres karyawan; memaksimalkan kepercayaan, dan meminimalkan stres dan kecemasan selama waktu yang tidak pasti. Pada saat genting, karyawan mengharapkan pemimpin untuk bertindak dan memberikan keputusan dengan tenang dan dalam musyawarah. Ketika berbagi informasi, pemimpin perlu melakukannya dengan empati dan optimis. Hal itu dilakukan karena pemimpin memahami ketidakpastian dan kecemasan yang dihadapi karyawan, terutama ketika para pemimpin harus mengomunikasikan keputusan yang cenderung meningkatkan stres karyawan; misalnya pengurangan jam kerja. Pemimpin harus ingat bahwa karyawan yang sedang cemas ingin agar pemimpin memberi harapan dan peneguhan. Kehilangan kendali dapat mengarah pada rasa tidak berdaya dan putus asa. Pemimpin harus membuat karyawan merasa ada harapan di masa depan dan membiarkan karyawan menyadari bagaimana mereka dapat membantu karyawan lain (Chen & Sriphon, 2021).
Empati. Sikap peka, peduli, dan belas kasih merupakan salah satu ciri yang tampak dari pemimpin yang memimpin dengan hatinya. Kepekaan, kepedulian, dan belas kasih dari pemimpin memberi suasana positif dalam hati dan perilaku karyawan. Pemimpin yang peka, peduli, dan berbelas kasih adalah pemimpin yang tidak berfokus pada dirinya sendiri, tetapi mudah tergerak hatinya karena melihat situasi yang dialami oleh karyawannya dan berupaya untuk mencari jalan keluar terhadap situasi tersebut. Belas kasih sebagai tindakan kepedulian terhadap penderitaan sesama berkontribusi pada pengurangan perilaku tidak beradab/tidak sopan dalam organisasi dengan memungkinkan terbentuknya hubungan pribadi yang mendalam antara atasan dan bawahan. Belas kasih pemimpin membangkitkan emosi positif dalam diri karyawan (Ko et al., 2021). Karyawan yang mengalami belas kasih akan mengembangkan rasa hormat terhadap pemimpinnya dan orang lain yang pada gilirannya, memfasilitasi inovasi organisasi (Ko et al., 2021).
Empati merupakan wujud belas kasih pemimpin kepada karyawan, adalah kemampuan untuk berbagi atau memahami keadaan emosional orang lain (Yeo & Kim, 2021). Pemimpin yang memimpin dengan hati akan berusaha memahami motivasi dan emosi karyawannya dan berupaya untuk memberi umpan balik terhadapnya. Pada saat krisis, pemimpin akan memahami bagaimana perasaan para karyawan dan berusaha menolongnya keluar dari permasalahan yang dihadapi, bukan sebaliknya menambah masalah bagi karyawannya. Pemimpin yang peduli pada situasi karyawan akan ikut merasakan pergulatan dan kecemasan yang dihadapi karyawan dan keluarga yang menjadi tanggungannya. Kepedulian sejati mensyaratkan keberanian untuk menjadi rentan dan mengakui kerentanan diri sendiri agar lebih solider kepada yang rentan. Pemimpin yang peduli adalah pemimpin yang sensitif dan sekaligus responsif terhadap keadaan karyawannya dan orang lain di sekitarnya. Pemimpin tidak hanya perlu mempraktikkan belas kasih secara pribadi, tetapi juga harus berupaya membangun budaya belas kasih, sehingga setiap individu dalam organisasi saling peduli dan memperhatikan satu sama lain (Vogel & Flint, 2021).
Integritas. Di tengah krisis, perilaku pemimpin yang memiliki integritas sangat dibutuhkan. Integritas merupakan perilaku yang konsisten dan dapat diandalkan, didasarkan pada standar moral yang digerakkan dari dalam hati. Seorang pemimpin yang memiliki integritas akan dipercaya oleh karyawannya sehingga meningkatkan partisipasi karyawan dalam aktivitas organisasi (Engelbrecht et al., 2017). Integritas seorang pemimpin tercermin dari sikap jujur dan konsistennya dalam memegang teguh prinsip etika dan moral. Pemimpin yang etis meyakini pentingnya keadilan, kepedulian, serta perlakuan yang bermartabat terhadap karyawan. Mereka tidak hanya mempertanyakan perilaku yang tidak etis, tetapi juga membangun hubungan yang berkualitas tinggi, berlandaskan kepercayaan dari para pengikutnya (Huang et al., 2021). Jika integritas dan etika ditonjolkan dalam organisasi, maka karyawan percaya bahwa pemimpin akan mempertimbangkan kepentingan mereka, dan pemimpin juga akan berperilaku adil dan etis ketika keputusan dibuat dalam lingkungan kerja yang berubah (Engelbrecht et al., 2017). Pemimpin yang bertindak berdasarkan etika akan menularkan tindakan etis pula dalam diri karyawannya sehingga bersama membentuk budaya etis. Pemimpin etis muncul dari organisasi yang memiliki budaya etis (Zyglidopoulos, 2021).
Seorang pemimpin harus dapat menyampaikan kebenaran tentang dirinya dan juga situasi yang tengah dihadapinya. Kesungguhan yang dimiliki pemimpin akan mampu membantunya saat menghadapi situasi ataupun kondisi yang menuntut keberaniannya. Ketika krisis, dan organisasi mengalami permasalahan misalnya keuangan, ketidak-berdayaan dan sebagainya, seorang pemimpin yang memiliki hati akan berani melakukan komunikasi yang transparan dengan karyawannya meskipun dalam dilematis. Dengan begitu diharapkan terbangunnya empati dari kedua belah pihak kemudian bersama-sama mencari jalan keluar agar kelangsungan organisasi tetap diperhatikan dan kekuatiran karyawan akan kesejahteraan pun tidak diabaikan. Menurut Chen & Sriphon (2021), pemimpin harus jujur dan transparan bahkan pemimpin harus menyampaikan berita yang mengecewakan secara jelas, lugas, dan jujur. Pemimpin perlu menghindari memberikan informasi yang keliru yang mengarah pada mispersepsi. Pemimpin yang efektif akan membagikan semua fakta dengan cepat dan tidak menyembunyikan berita buruk. Pemimpin harus menyediakan komunikasi secara teratur. Pemimpin yang baik harus secara rutin melakukan komunikasi sehingga karyawan dapat memahami situasi yang sebenarnya. Saat komunikasi berhenti atau kurang lancar, karyawan cenderung membayangkan hal yang buruk mengenai pemimpin dan organisasi.
Refleksi. Hal lain yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin yang memimpin dengan hatinya terutama saat krisis adalah melakukan refleksi dan evaluasi terus-menerus. Refleksi dan evaluasi menunjukkan kedalaman spiritualitas dalam diri pemimpin tersebut. Spiritualitas tidak berhubungan dengan agama tertentu tetapi nilai, sikap, dan perilaku yang digerakkan dari dalam diri seseorang. Kepemimpinan spiritual terdiri dari nilai-nilai, sikap, dan perilaku seorang pemimpin yang berfokus pada signifikansi diri intrinsik dan nilai diri karyawan melalui panggilan dan keanggotaan (Yang et al., 2019). Dalam masa krisis, seorang pemimpin perlu mengambil waktu yang cukup untuk merenungkan kembali, melakukan disermen/penegasan, refleksi, dan evaluasi atas perilakunya, perilaku karyawan, dan perilaku organisasi yang dipimpinnya. Dengan demikian pemimpin tersebut dapat selalu mengetahui sikap dan perilakunya berada di dalam koridor etika dan moral atau tidak. Di samping itu, saat – saat hening dibutuhkan untuk menimba energi dari sumber hidup agar dapat menggerakkan dirinya melakukan perbuatan baik, benar, dan positif. Sebagai orang beriman yang menyadari akan kerapuhan diri berhadapan dengan krisis, pemimpin harus menunjukkan imannya yang besar akan Allah yang Maha Besar dan kerapuhan manusiawi dan mengupayakan agar karyawan pun menyadari hal yang sama sehingga secara bersama membangun iman akan Allah dan semakin solider kepada sesama manusia. Masing-masing individu dalam organisasi dipanggil untuk berlatih dan mempromosikan proses penegasan (discernment) untuk menemukan bersama cara-cara terbaik untuk merasa, berpikir, dan bertindak untuk kebaikan bersama dan kemuliaan Allah.
Para pemimpin yang menggabungkan praktik penegasan (discerment) dalam pengambilan keputusan lebih mungkin untuk menghindari tindakan yang tidak bijaksana, menumbuhkan kreativitas dan mencapai komitmen yang lebih besar terhadap implementasi keputusan dari pihak lain yang terkena dampak keputusan tersebut. Pemimpin yang mengintegrasikan penegasan spiritual ke dalam proses pengambilan keputusan menemukan “jati diri” sebagai sumber kekuatan yang kaya untuk menggerakkan semangat hidup. Melalui pendekatan ini, mereka memperoleh kebebasan, energi, dan sumber daya baru yang dibutuhkan untuk memimpin menuju tujuan baru, terutama dalam menghadapi kompleksitas yang menakutkan dan penuh tantangan (Allen & Fry, 2019).
Krisis selalu memiliki dua sisi yaitu malapetaka atau kesempatan/peluang, tergantung cara pandang, cara merasa, dan cara bertindak kita. Pemimpin yang digerakkan oleh nilai, sikap dan perilaku positif yang bersumber dari hati akan melihat krisis sebagai sebuah kesempatan untuk bertindak lebih bijaksana dan bertanggung jawab. Ia tidak hanya akan cekatan melakukan berbagai terobosan untuk menyelamatkan organisasi dari krisis tetapi juga berpihak pada aspek kemanusiaan dalam merespons krisis.
***
DAFTAR PUSTAKA
Allen, S., & Fry, L. W. (2019). Spiritual development in executive coaching. Journal of Management Development, 38(10), 796–811. https://doi.org/10.1108/JMD-04-2019-0133
Anadol, Y., & Behery, M. (2020). Humanistic leadership in the UAE context. Cross Cultural and Strategic Management, 27(4), 645–664. https://doi.org/10.1108/CCSM-01-2020-0023
Chen, J. K. C., & Sriphon, T. (2021). Perspective on COVID-19 pandemic factors impacting organizational leadership. Sustainability (Switzerland), 13, 1–22. https://doi.org/10.3390/su13063230
Deshmukh, B. Y. S. (2021). Kindness is key. STRATEGIC FINANCE, 20(July), 1–3.
Engelbrecht, A. S., Heine, G., & Mahembe, B. (2017). Integrity, ethical leadership, trust and work engagement. Leadership and Organization Development Journal, 38(3), 368–379. https://doi.org/10.1108/LODJ-11-2015-0237
Flavian, C., Guinalíu, M., & Jordan, P. (2019). Antecedents and consequences of trust on a virtual team leader. European Journal of Management and Business Economics, 28(1), 2–24. https://doi.org/10.1108/EJMBE-11-2017-0043
Garro-Abarca, V., Palos-Sanchez, P., & Aguayo-Camacho, M. (2021). Virtual Teams in Times of Pandemic: Factors That Influence Performance. Frontiers in Psychology, 12(February), 1–14. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2021.624637
Huang, N., Qiu, S., Yang, S., & Deng, R. (2021). Ethical leadership and organizational citizenship behavior: Mediation of trust and psychological well-being. Psychology Research and Behavior Management, 14(June), 655–664. https://doi.org/10.2147/PRBM.S311856
Javed, M., Niazi, A., Hoshino, Y., Hassan, H., & Hussain, M. (2021). Making Leaders’ and Followers’ Relationship Sustainable: The Impact of Leaders’ Behavioral Integrity on Employees’ Voice in the Banking Sector of Pakistan. Sustainability, 13, 1–14. https://doi.org/doi.org/ 10.3390/su132111733 Academic
Ko, S. H., Kim, J., & Choi, Y. (2021). Compassion and workplace incivility: Implications for open innovation. Journal of Open Innovation: Technology, Market, and Complexity, 7(1). https://doi.org/10.3390/JOITMC7010095
Mahdikhani, M., & Yazdani, B. (2020). Transformational leadership and service quality in e-commerce businesses: The role of trust and team performance. International Journal of Law and Management, 62(1), 23–46. https://doi.org/10.1108/IJLMA-12-2018-0290
Ramakrishnan, R. (2021). Leading in a “VUCA” world. -Journal of Business Management, 20(1), 89–111. https://doi.org/10.12725/ujbm.54.5
Vogel, S., & Flint, B. (2021). Compassionate leadership: how to support your team when fixing the problem seems impossible. Nursing Management, 28(1), 32–41. https://doi.org/10.7748/nm.2021.e1967
Yang, F., Liu, J., Wang, Z., & Zhang, Y. (2019). Feeling Energized: A Multilevel Model of Spiritual Leadership, Leader Integrity, Relational Energy, and Job Performance. Journal of Business Ethics, 158, 983–997. https://doi.org/10.1007/s10551-017-3713-1
Yeo, S., & Kim, K. J. (2021). A validation study of the Korean version of the Toronto empathy questionnaire for the measurement of medical students’ empathy. BMC Medical Education, 21(1), 1–9. https://doi.org/10.1186/s12909-021-02561-7
Zyglidopoulos, S. (2021). On Becoming and Being an Ethical Leader: A Platonic Interpretation. Journal of Business Ethics, 173(1), 1–11. https://doi.org/10.1007/s10551-020-04544-y
Rekhy R. (2019). Leading from the heart. https://humancapitalonline.com
*Penulis adalah dosen STPM Santa Ursula